Jejak Hatiku

Aku pernah berpikir, alangkah asyiknya jika aku terlahir sebagai peri hutan yang kecil, punya sayap, berwajah cantik, dan bebas terbang keseluruh penjuru hutan. Hinggap di pucuk pohon yang paling tinggi dan bisa melihat pemandangan hutan yang indah. Tapi aku hanya terlahir sebagai manusia, tak punya sayap, berwajah jelek dan tidak bebas pergi kemanapun aku ingin.

Tapi setelah kupikir lagi, tak jelek juga menjadi manusia. Aku bisa menulis blog ini, bisa mengenal apa itu dan belajar untuk mencintai penciptaku, dan aku bisa berkhayal tentang peri hutan yang cantik.

Minggu, 12 April 2009

Hati Sunyi

Seperti juga manusia lainnya, aku bisa kecewa. Dan juga seperti adanya kejadian-kejadian sebelum ini, aku kecewa. Kadang lelah menekuri setiap kekecewaan ini, entah bagaimana mengatasinya. Tapi terkadang aku berfikir, kala aku sudah sendiri, bahwa kekecewaan itu harus kuterima apa adanya. Mungkin saja ini salah satu jalan yang ditunjukkan Allah SWT untukku agar aku bisa lebih menerima kenyataan, agar aku bisa lebih dewasa menghadapi segala sesuatu didunia, agar aku tahu saatnya berhenti karena apa yang kulakukan ternyata sia-sia belaka.
Terkadang aku merasa tak adil, karena kekecewaan yang kurasakan dikarenakan oleh orang lain, dan bukan karena kesalahanku sendiri. Ingin marah, sedih dan kadang ingin pergi begitu saja meninggalkan semuanya. Tapi aku tak bisa.
Rasa itu hanya bisa disimpan didada, mengkristal sedikit demi sedikit, membentuk stalaktit dan stalakmit seperti di dalam gua yang dingin. Membeku, tajam, dan mematikan.
Aku takut, hatiku jadi membeku seperti gua yang dalam, dingin dan sunyi.
Aku resah sendiri, meski ada beberapa orang yang menyayangiku, tapi ada bagian dari hatiku yang tak tersentuh oleh mereka, hati yang sunyi, sepi dan dingin, seperti gua.
Aku cintai kesendirianku, ketika aku tak lagi memiliki senyum untuk kubagikan pada orang lain. Tak ada waktu, tak ada tempat, tak ada masa, tak ada jiwa.
Kosong, melebihi ruang hampa udara.
Seperti tubuh tak berjiwa, mungkin hanya mayat yang berjalan. Tapi ada satu emosi tersisa, amarah yang datang dari rasa kecewa. Amarah yang perlahan surut karena aku lelah, dan karena tak ada lagi ruang untuk menyimpan amarah itu. Perlahan luruh, jatuh masuk semakin jauh ke kedalaman gua yang gulita.
Terkubur bersama sampah-sampah jiwa yang ingin kulupakan.
Setelah itu, aku akan mencoba kembali tersenyum, meski tak ada yang menerima senyumku lagi. Dan aku harus siap, untuk menerima kekecewaan baru lagi.